[Exhibition] Melihat Lukisan, Percakapan Sebelum Akhir Sejarah
- admin
- February 23, 2022
- Exhibitions
- 0 Comments
Seeing Painting:
Conversations Before the End of History
(Melihat Lukisan:
Percakapan Sebelum Akhir Sejarah)
Artist/Seniman:
Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Mochtar Apin, Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, Srihadi Sudarsono, AD Pirous, Sunaryo, Siti Adiyati, FX Harsono, Sudarisman, Lucia Hartini, Ivan Sagito, Semsar Siahaan, Made Djirna, Mangu Putra, Agus Suwage, Heri Dono, Nasirun, Entang Wiharso, Ugo Untoro, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Yunizar, Nyoman Masriadi
Venue/Tempat
Sangkring Art Space – Jogjakarta Lt.1 & 2
Date/Tanggal
17 – 27 November 2013
Resepsi Pembukaan Pameran
17 November 2013 |Pukul. 19.30 WITA
Medium/Medium
Lukisan
Size/Ukuran
Menimbang jumlah seniman dan skala ruang pameran, ukuran lukisan tidak lebih besar dari 2 x 3 meter (1 lukisan saja).
Pemotretan Karya
Untuk keperluan pencetakan dan penerbitan katalog, kami memerlukan imej karya dari masing-masing seniman. Pemotretan lukisan dilakukan selambatnya pada tanggal 5 – 6 November 2013 di studio seniman. Namun demikian, guna melancarkan teknis di lapangan, setiap masing-masing seniman dibebaskan melakukan pemotretan sendiri. Untuk kasus ini, imej karya high resolution sudah diterima kurator selambatnya tanggal 8 November 2013 ke email: blupart@yahoo.com
Kurator/Curator
Aminudin TH Siregar
Resume Curatorial
Sejarah memiliki lapisan dan irisan. Bisa dipastikan bahwa setiap lapisan dan irisannya memiliki diskontinuitas maupun pola-polanya tersendiri. Semakin kita memasuki lapisan dan irisan yang lebih dalam, ritme-ritme sejarah yang kita temui pun semakin beraneka-ragam. Dalam kerangka itu, pameran ini diwakilkan oleh seniman-seniman yang memulai karirnya pada akhir 1930-an hingga akhir 1990-an. Pameran ini bersandar pada lapisan dan irisan berdasarkan kronik sejarah seni rupa Indonesia di mana para seniman ini pernah dan masih terlibat aktif mencipta karya dari masa ke masa.
Secara tradisional, sejarah dipahami sebagai sebuah proses mengingat peristiwa-peristiwa monumental di masa lalu, lalu ditransformasikan ke dalam bentuk dokumen. Akhirnya, sejarah mencoba mengatakan kepada kita tentang sistem pengingatan ini, meskipun sebenarnya yang akan diingat itu sulit diverbalkan. Dewasa ini sejarah justru berambisi mentransformasikan dokumen-dokumen tadi menjadi monumen-monumen. Di hutan belantara dokumen dan monumen inilah, sejarah mengumpulkan jejak-jejak yang ditinggalkan manusia. Saat ini, sejarah menaburkan begitu banyak elemen yang harus dikumpulkan, dipilah-pilah sehingga menciptakan relevansi dan relasi satu sama lain sehingga menciptakan totalitas.
Dalam praktik sejarah tradisional, pertanyaan yang sering dikemukakan adalah, “hubungan apa yang bisa dari dua peristiwa terpisah?” “Kontinuitas apa yang ada pada peristiwa-peristiwa tersebut?” dan “Apakah mungkin mendefinisikan sebuah totalitas, atau sebaliknya, kita harus puas hanya dengan membentuk ikatan-ikatan antar peristiwa?”. Di masa sekarang pertanyaan-pertanyaan itu telah digantikan oleh bentuk pertanyaan lain, seperti: “Lapisan sejarah manakah yang harus dipisahkan dari yang lainnya?” “Bagaimana kita menentukan tipe-tipe rangkaian (series of series) peristiwa sejarah tersebut?”
Pameran ini tidak menawarkan sebuah pandangan bahwa sejarah adalah sebuah kesatuan (unities). Alih-alih, pameran ini, dengan menimbang cara melihat dan cara memahami lukisan lukisan diharapkan bisa menggeser cara pandang kita dari pencarian tema-tema kesatuan seperti periode, babad, abad – menuju fenomena “retakan” (rupture) dan diskontinuitas. Sebab, dalam kontinuitas sejarah, pastilah ada “selaan-selaan” (interruption) yang muncul tiba-tiba, yang pada mulanya status maupun hakikatnya sulit dipahami.
Pameran yang mengajak karya lukis dari seniman Indonesia ini yang dinilai telah berkontribusi di “lapangan sejarah“ merupakan efek dari lapangan sejarah itu sendiri. Dengan melihatnya sebagai diskontinuitas, pameran ini diharapkan bisa menentukan perbedaan berbagai macam domain, sementara pada saat yang sama domain-domain tersebut bisa terwujud hanya dengan jalan mengomparasikan satu dengan yang lainnya. Karena itu komposisi seniman yang mewakilkan lapisan dan irisan periode sejarah dalam pameran ini tampil dalam kerangka komparasi tersebut.
Seni lukis Indonesia muncul dari hasil kontak kebudayaan antara Indonesia dengan Barat. Seni lukis Eropa diperkenalkan ke Indonesia oleh orang-orang Belanda sejak mereka datang di dalam serikat dagang Verenigde Oost-Indische Compagnieen (VOC) di awal abad ke-17. Diantara pegawai VOC tersebut terdapat sejumlah pelukis. Seni lukis membantu upaya serikat dagang itu dalam memenuhi beberapa keperluannya, misalnya: menghadiahkan kepada raja pribumi, memenuhi pesanan mereka atas sejumlah lukisan Eropa. Seni lukis disana juga menyediakan dokumentasi hasil eksplorasi pantai dan pelabuhan, keadaan alam, flora dan fauna, penduduk dan kebudayaan mereka disamping dokumentasi arkeologis (khususnya candi Hindu dan Budha).
Kemodernan dalam seni lukis Indonesia tumbuh sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada Agustus 1945. Adapun periode Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar, tahun 1938) dengan kemunculan S. Sudjojono di kancah seni lukis Indonesia dipandang sebagai era nasionalisme. Sejarawan lalu meyakini bahwa periode modern nbaru dimulai pada era 1960-an. Karakteristik periode ini antara lain pertumbuhan asosiasi pelukis, keberadaan akademi seni, lahirnya inovasi dan eksplorasi baru terhadap bentuk bersamaan dengan tegaknya pemahaman atas pengetahuan seni modern, khususnya seni rupa modern Barat yang lebih luas. Gaya dan estetika seni lukis Indonesia terus berkembang. Karena itu, menilai seni lukis pada masa sekarang memiliki kompleksitas tersendiri.
Seni lukis modern Indonesia merupakan “entitas yang keberadaannya unik dan berbeda.” Untuk memahami inti permasalahannya dalam sejarah, seseorang membutuhkan berbagai sudut pandang. Seni lukis ini tidak bisa diartikan secara sederhana sebagai seni yang lahir di masa Indonesia modern saja, yaitu era ketika manusia yang menetap di kawasan ini memproklamirkan kemerdekaannya. Memahami seni lukis modern kita juga tidak semudah menunjuk nasionalisme sebagai dasar ideologinya, meskipun memang pernah ditempatkan sebagai instrumen kebangsaan. Masalah ini harus dilihat sebagai suatu diskursif yang terus menerus berproses menuju “totalitas”. Sebagai konsekuensinya, sulit bagi siapapun untuk menetapkan satu pisau analisa yang serba pasti mengenai hal ini.
Pameran ini diharapkan bisa memancing pandangan kritis kita dalam menyoroti perkembangan seni lukis Indonesia dengan menggarisbawahi bahwa Indonesia memiliki problematika, cara dan bahasa tersendiri yang tidak akan pernah sama persis sebagaimana perkembangan seni lukis di luar Indonesia.
Akhirnya, melalui lukisan, pameran Seeing Painting: Conversations Before the End of History ini diharapkan bisa memperlihatkan “kenyataan sejarah seni lukis Indonesia” sebagai sebuah mode of discourse yang terdiri dari jalinan-jalinan rumit akibat proses akulturasi dan inkulturasi dalam wujud kosa kata, tuturan, kritik, polemik, tulisan-tulisan, doktrin, birokrasi, sekolah, institusi sosial, dsb.