[Tulisan] Seni, Agama, Spiritual dan Kekuatan Bangsa
Pada mulanya seni adalah segala ciptaan hasil karya manusia
baik yang berbentuk fisik atau non fisik.
Seni pada awalnya adalah bagian dari ritual, tradisi yang bersifat simbolis dan transenden atau spiritual.
Mulai dari gambar-gambar di gua yang berumur ribuan tahun, candi, wayang, tarian, tembang dan lain-lain di Jawa dan di daerah-daerah dan suku-suku bangsa nusantara. Tentu saja mereka tidak disebut seniman dalam arti modern, mereka sebut saja “pasca tukang”, bisa undagi, empu dan lain-lain yang berkarya, mencipta sebagai rasa hormat, bakti, ungkapan rasa syukur baik ke sesama dan akhirnya ke Sang Pencipta. Seni sebagai jalan untuk mencapai kebijakan, kebajikan, harmonisasi manusia, alam dan penciptanya dengan segala jenis keindahannya, sesuai dengan alam lingkungan dan karakter masyarakatnya.
Begitulah seni secara umum, tidak saja di nusantara, tapi di seluruh bangsa-bangsa di dunia. Seni sebagai wakil simbol jalan untuk mencapai yang lebih tinggi, luas hingga kita bisa merasakannya. Seni sebagai bahasa personal muncul ketika abad industri, lahirnya modernitas di abad 18-an. Abad dimana pikiran, rasio atau logika dikedepankan dengan kalimat legendarisnya “ Aku berfikir maka Aku ada”.
Dari sinilah kesadaran, pemahaman tentang “Aku” muncul, yang kemudian diikuti dengan “Aku” yang lain seperti suku, ras, negara hingga agama yang kemudian menjadi aku. Aku yang lain dalam arti aku beda dengan kamu yang mengandung bibit-bibit aku lebih baik dari kamu.
Tapi disinilah kekuatan seni. Walaupun tidak lagi sebagai bahasa komunal tapi tetap pada benang merah yang sama, yaitu menjadi ungkapan tentang kekaguman, keperihan, kelemahan seorang manusia yang akhirnya mengembalikan lagi bahwa ada kekuatan lain diluar ciptaan manusia yang tersebar di alam sebagai tanda-tanda yang harus dibaca dan dipahami.
Sebuah karya seni yang baik, kuat, mampu mengundang atau menyebarkan empati, penyadaran, kebersamaan, rasa cinta yang mengandung pesan moral, baik horisontal ataupun secara vertikal.
Jaman industri mempercepat penyebaran informasi hiburan dengan bermacam bentuk dan pasti unsur ekonomi, paham, ideologi terselip didalamnya. Kecepatan informasi ini, pada sisi negatifnya adalah adalah makin menumpulnya rasa empati, ketidakpedulian dan juga memudarnya akar jati diri kita. Juga disisi lainnya, kalau dulu seni dilahirkan untuk penghormatan, persembahan pada raja, bangsawan, pendeta, kubah-kubah masjid, candi, pura tanpa embel-embel harga, uang, sekarang mental itu makin lama makin tipis, sebab dunia sudah berubah menjadi ladang produksi yang telah menyingkirkan akar, karakter, seni tradisi, komunal dan sekteral.
Sebagai contoh disini, seni pertunjukkan ketoprak, wayang, ebeg, tari dan lain-lainnya makin ditinggalkan penonton. Padahal bentuk seni inilah yang justru sangat dekat dan mudah dicerna penonton, pesan-pesan yang bersifat humanis dalam seni tradisi itu yang mampu membaur dan menyatukan berbagai penonton dari latar belakang yang berbeda-beda, sekaligus mengingatkan kembali akar budaya masyarakat kita.
Ini yang masih belum disentuh oleh pemerintah, yaitu memberi perhatian, kepedulian dan yang membuat kita khawatir, mereka kelak akan hilang. Padahal seni tradisi ini sangat efektif sebagai sarana menyampaikan pesan, ajaran, tuntunan tanpa membedakan latar belakang penontonnya dan si penonton pun hanyut dalam rasa kebersamaan.
Lalu kenapa seni menjadi penting dan sampai sekarang masih tetap tumbuh dalam era digital ini ?
Pertama,
seni lahir dari pembacaan, pemahaman atas tanda-tanda di alam yang lalu diwujudkan sebagai karya yang berfisik dan pemahaman akan tanda-tanda itu berlainan antara seniman satu dengan yang lainnya, hingga kita bisa melihat dimensi dari alam ini, dan itu bisa membuka wawasan, pandangan dan menerima bahwa perbedaan itu justru sebuah keindahan, kekuatan.
Kedua,
seni personal ini, pada proses pemahaman, perenungan kekhusyukkan, juga melahirkan keberanian si seniman untuk berbicara secara jujur, seperti tentang kelemahan, kedinginan, kesendirian, kekuatan, ketegaran dan lain-lain yang menginspirasi orang lain bahwa lemah, pedih, kuat dan sebagainya itu tidak perlu disembunyikan, ditutup-tutupi, tapi justru harus dikeluarkan, dilepaskan dan ini membuat kita sadar akan apa manusia, manusiawi itu, atau paling tidak kita tidak merasa sendiri.
Ketiga,
melihat karya seni yang lahir dari proses yang panjang dan kadang berat, kita seperti terseret, terpukau, tertelan oleh karya itu, kita sejenak bisa menghilangkan ego, perbedaan, bahkan mampu menumbuhkan rasa spiritual yang membentuk manusia menjadi lebih manusia. Seni, seperti agama, ajaran, kepercayaan dan lain-lain adalah jalan untuk manjadi manusia seutuhnya.
Sebagai penutup, Seni sebagai jalan untuk menjadi manusia juga, seni adalah laku spiritual, meditatif yang mampu melepaskan ego, aku, kamu, menerima perbedaan dan berujung kembali pada sesuatu yang bersifat vertikal, transendental. Sudah seharusnya pemerintah atau negara lebih memperhatikan, peduli, men-support seni dan para pelakunya seperti di negara-negara lain, yang sudah sadar akan kekuatan seni untuk membangun persatuan, kebanggaan, kekuatan bangsa dan negara, seperti yang sudah pernah dilakukan oleh presiden pertama kita Ir. Soekarno yang terbukti negara kita disegani, dihormati, dihargai, bukan saja karena kekayaan alamnya, kekuatan militernya, persatuan dari keragaman suku bangsanya tapi juga karena mampu menghargai dan menilai seni sebagai simbol kemajuan peradaban dan kebesaran negara.
Cerita tentang Kehidupan Seni di Jogja.
Ugo Untoro
13 Juni 2019
Yogyakarta